Selamat IDUL FITRI 1430 H

Selasa, 23 Maret 2010

Perlu Berhutang?


Berhutanglah, jika dianggap perlu berhutang.

Sebab berhutang 1 mulanginnya 1.

Sedang sedekah,

memberi 1 dipulanginnya 10.

Lumayan sering saya ngomong, paksain, paksain, paksain. Paksain buat sedekah. Bila ga ada duit, jual barang. Jika ga ada barang, pasang niat. Jika perlu, begitu saya katakan, ngutang aja. Supaya bisa bersedekah.

Tentu saja, pasti tidak semua hal bisa dibahas habis di 1x pengajian. Saya yang barangkali tidak arif. Sehingga kedengerannya kayak memaksakan seseorang buat bersedekah.

Sebelum biara tentang maksa dan maksain sedekah, izinkan saya bicara dulu semukaddimahnya.

Aslinya memang saya sering maksa orang bersedekah sih, he he he. Saya bilang, urusan baik, kudu dipaksain. Dulu, kalo saya ga dipaksa mengaji, mungkin ga akan ada ilmu agama. Seorang anak jika ga dipaksa masuk pesantren, mungkin malah orang tuanya yang melarang-larang. Saking sayangnya, begitu mungkin. Padahal membekali anak dengan ilmu dan kebiasaan beragama yang baik, adalah bentuk sayang buat anak-anak kita.

Lampu merah, kuning, hijau, emangnya bukan pemaksaan? Itu kan pemaksaan. Lampu merah, kita dipaksa untuk berhenti. Ga boleh kita ga berhenti. Harus berhenti. Lalu misalnya kebetulan perempatan itu perempatan yang indah, lalu kita masih kepengen berlama-lama. Atau ada nomor telepon dari iklan di perempatan lampu merah yang mau dicatat. Ga boleh juga kita masih berhenti kalo lampunya udah berubah hijau. Padahal dikit lagi nih bisa kecatat, tetap engga boleh. Detik itu hijau, detik itu kudu mulai jalan. Pas merah pun gitu. Coba aja lampu merah ditabrak, pasti kecelakaan yang ada.

Kenapa kita dipaksa lalu nurut? Sebab kita tahu itu adalah kebaikan adanya, dan membelakanginya adalah keburukan.

Dalam urusan agama, seringkali kita tidak memaksakan diri. Terlalu memanjakan diri. Di banyak ibadah ini terjadi. Sehingga kalimat tidak membebankan diri sering jadinya tidak memaksimalkan diri. Akhirnya, ibadahnya begitu-begitu saja. Seringkali turun kuantitas dan kualitasnya malah: Shalat malam, ga dipaksakan. Shalat dhuha, ga dipaksakan. Shalat tepat waktu, ga dipaksakan. Berhaji ga dipaksakan. Dan masih banyak lagi. Semuanya ga dipaksakan, padahal bisa.

Shalat malam, kalo emang diniatin, mestilah bangun. Aturlah supaya bisa tidur lebih awal. Olahragalah di malah hari, dengan shalat sunnah yang agak banyak menjelang tidur. Sebagai pengantar tahajjud yang fresh punya. Begitu terbangun, langsung paksa badan bangun dan melangkah mengambil air wudhu. Kalau perlu langsung mandi. Dan bilamana perlu, ambil sajadah kemudian shalatnya di luar rumah; di halaman rumah, di mushalla deket rumah, atau di mana keq sekedar perubahan suasana. Shalat malam beratapkan langit dan bebintangnya, cakep juga buat supaya tidak ngantuk.

Shalat dhuha, bila tidak dipaksakan, ntar ga dhuha-dhuha. Lihat saja diri kita. Ketika kita dulu sekolahnya di sekolah yang tidak memberlakukan dhuha, bertambah-tambahlah tidak ada dhuhanya sama sekali. Dan keadaan ini berlanjut. Sebenernya, ketika kita berada di kantor, bisalah menyempatkan diri sebentar, walo hanya 2 rakaat dhuha. Pergilah ke kantor dalam keadaan berwudhu. Supaya ketika tiba di kantor, kita bisa menegakkan dhuha di samping meja kerja kita. Di warung kita, di toko kita, di sekolah, di kampus, di mana saja kita sempatkan. Waktu mah bagaimana kita. Tentu saja salah besar jika seseorang shalat dhuha sampe 1-2 jam. Kecuali di hari libur, ya tegakkanlah shalat dhuha 2 rakaat dengan bacaan yang pendek. Cukup. Asal istiqamah. Tar sesekali, kita kemudian shalat pol 12 rakaat, yakni manakala sedang libur.

Berhaji. Berhaji jika tidak dipaksakan, wuah, alasan utamanya adalah: Belom ada panggilan. Di saat yang sama belom berhaji, keadaan uang berlimpah. Atau kalaupun tidak berlimpah, bisa lah kira-kira pergi haji kalau maksain. Misalnya, rumah ada. Tapi baru satu. Lah, satu-satunya rumah itu kemudian dijual buat pergi haji. Orang sering menyebut maksain. Tapi saya menyebut maksimalisasi. Emang harus maksain. Masa lebih penting rumah ketimbang nyempurnain Rukun Islam? Duit emang ga punya, tapi mobil punya, ya jual saja mobilnya. Ngontrak rumah sewaan, dan pake mobil sewaan. Insya Allah memaksakan diri seperti ini menjadi ibadah yang subhaanallaah. Ibadah yang dilakukan dengan pengorbanan.

Puasa. Baik puasa wajib atau puasa sunnah. Iddih, ibadah puasa ini, jika tidak memaksakan diri, habislah badan ini jadi manja. Tar malah kelamaan engganya, jadi malah seumur-umur ga biasa dan ga bisa puasa.

Di pesantren Daarul Qur’an, banyak ibadah sunnah awalnya diprotes oleh beberapa walisantri. Ada yang beralasan medis, ada yang beralasan perlahan perlahan, dan satu dua alasan lain. Puasa contohnya, kata satu dua walisantri, anaknya ga terbiasa puasa. Perutnya suka sakit. Alhamdulillah, dengan pengajaran, dan terbangunnya lingkungan, anaknya malah menyuruh orang tuanya puasa. Ga ada tuh yang dikhawatirkan. Kalao khawatir terus, malah kekhawatiran itu yang lebih mengemuka nantinya. Shalat dhuha, sungguhpun ia sunnah, di pesantren jadi amalan wajib. Di awal-awal ada suara, mengapa jadi wajib? Bukankah Rasulullah saja tidak mewajibkan? Saya jawabnya enteng aja, dhuha emang sunnah. Tapi yang jadi masalah, situ sekolahnya di Daarul Qur’an. Dan di Daarul Qur’an dhuha itu wajib. Titik. Mau nurut, apa engga? Kalau engga mau nurut peraturan, ya maaf, keluar aja. He he, maaf ya. Itu bahasa saya memang. Kasar ya? Yah, pegimana niatnya dah.

Sama, urusan dunia juga kalau engga dipaksakan, bakalan malas lah yang ada: Olahraga tuh yang paling kelihatan. Kalau engga dibiasakan dan dipaksakan diri ini berolahraga, sampe kemudian jatuh sakit baru keingetan olahraga. Jam masuk sekolah, kalau tidak dipaksa menjadi peraturan dan tata tertib yang ada sangsinya, niscaya akan berantakanlah kedisiplinan. Semuanya semaunya.

Jadi, tidak semua pemaksaan itu jelek. Pemaksaan itu kadang bagus buat yang dipaksa. Pemaksaan yang dibarengi dengan penyadaran diri, tarbiyyah bahasa agamanya, tentu akan jauh lebih baik lagi. Taatnya bukan karena peraturan. Tapi karena kesadaran.

***

Dalam pada itu, seringkali terhadap sesuatu yang sifatnya dunia, kita jadi mampu maksain.

Ngawinin anak, nyunatin anak, ngoperasi anak jika harus dioperasi, berobat, adalah 3 contoh sederhana yang ternyata pemaksaan diri terjadi “tanpa ada yang maksa”. Jalan-jalan pegadaian, rentenir, berhutang, jual ini jual itu, adalah sesuatu yang niscaya terjadinya.

Belom lagi hal-hal yang sebenernya tidak wajib; memiliki mobil, memiliki motor, memiliki rumah, memiliki ruko, memiliki modal usaha, semua bisa memaksakan kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, siang bertambah panjang dengan menjadikan malam jadi siang juga. Nyambi sana nyambi sini, ngobyek sana ngobyek sini, buat nambah-nambahin kredit mobil, motor, rumah, ruko, dan modal usaha. Bahkan gendengnya, kadang-kadang malah maksain ngutang buat DP nya itu mobil, DP nya itu motor, DP nya itu rumah, DP nya itu ruko.

Subhaanalllaah, jika untuk Allah, kita engga maksain.

Coba dong paksain. Punya rumah nih, sedang udah ada sertifikatnya, jual rumahnya. Sewa aja rumah yang taonan bayarnya. Lalu coba paksakan sedekah. Punya mobil, sedang sudah ada BPKB nya, jual mobilnya. Sewa aja mobil yang bulanan. Sehingga kita bisa sedekah yang besar. Dan banyak lagi yang akan kita bicarakan terus di Case by Case Kuliah Tauhid ini. Insya Allah.

Oh ya, buka-buka informasi di website ya tentang JDN, Jaringan Doa Nasional. Cakep banget tuh. Jangan ampe ga ikutan ya. Doakan saya ya. Saya juga berdoa buat semuanya. Insya Allah besok dimudahkan Allah untuk belajar tentang berhutang untuk sedekah.

Senin, 05 Oktober 2009

Husnuzon Kepada Alloh SWT
(Sebuah renungan dalam memandang Musibah yang Alloh datangkan kpd kita)

by: Ustz. Yusuf Mansyur
www.wisatahati.com


Karena Kemurahan Allah lah kita-kita yang berlumuran dosa ini masih panjang umur, dan "cuma" mendapatakn bala yang sekarang dirasa. Kalau tidak, kita dihabisi-Nya. Namun lihat, di balik smua kesusahan yang terasa, Allah masih mngucurkan Karunia-Nya. Allah saja bersabar dalam melihat hamba-hambaNya yang bermaksiat dan menanti hamba-Nya bertaubat. Maka seyogyanya kita juga demikian. Perbesar husnudzdzan sama Allah, dan tetap istiqamah dalam taubatan nasuha. Sebagai gambaran ya:

# Bila kita kena dosa syirik, harusnya tidak terampuni. Kita langsung di-cut oleh Allah dari dunia, dan dilempar keluar untuk kita dipersilahkan Allah mencari perlindungan dari tuhan yang kita jadikan tuhan selain Allah.

# Jika kita meninggalkan 1 sholat shubuh saja, maka kita ditaroh di neraka selama 68 tahun yang perhitungan 1 hari nya minim-minim 1000 tahun di dunia. Wuih. Dan itu masih ditambah sederet mampir-mapir di neraka saqor, neraka yang penuh dengan ular. Di alam kuburnya, masih ditambah ketemu dengan ular syuja-ul aqro, ular dengan 16 kepala. Rasul bersabda, kepala-kepala itu ular di dunia, berwujud hutang yang tidak terbayar, penyakit yang tidak kunjung sembuh, keberkahan yang dicabut, dan masih banyak lagi rupanya itu ular.

# Jika kita durhaka sama orang tua, maka Allah tidak ridho. Sedang kita bisa mengerjakan sesuatu, berhasil di urusan sesuatu, sakses di urusan sesuatu, sebab ridho-Nya. Termasuk ketika berusaha menyelesaikan urusan-urusan, kalo ga ada ridho-Nya, ga akan beres. Maka ketika kita durhaka, keridhaan itu dicabut, mati langkah lah kita.

# Jika kita pezina yang masih bujang, 40 tahun susahnya. dan tidak disebut berzina, kecuali kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan (maaf). Dan sayangnya pezina-pezina itu selalu melakukan koitus berkali-kali. Artinya, berkali-kali masuk-cabut-masuk (sekali lagi maaf). Sehingga tidak disebut zina, sekali jalan puas. Melainkan ia berkali-kali, hingga kemudian terpuaskan. Sekali zina, bisa berkali-kali ukuran fiqih senggamanya. Artinya apa? Jika 2-3x saja perlu keluar masuk, maka sdh 80-120 tahun susahnya. dan itu sama saja dengan seumur hidup susah. Sedangkan bila pezina itu sudah berkeluarga, maka hukuman semestinya adalah hukuman mati. Lalu kita dibiarkan lepas, bebas. Maka sesungguhnya kita sudah dianggap mati. Gedebong pisang. dan ini sama saja engga dianggep kita ini hidup oleh Allah.

# Doa rizki haram? Mutusin silaturahim? Ninggal shalat sunnah? Wuih, banyak banget. Kiranya, karena Allah itu Maha Pengampun lah kita benar-benar masih beroleh hidup dan masih diberi-Nya karunia. Salah satu karunia terbesar adalah diberi-Nya kita pengampunan dan kesempatan untuk memohon ampun dan mengejar keburukan dengan kebaikan-kebaikan. Jangan lihat kesusahan kita, tapi lihatlah kesempatan yang Allah berikan ini. Insya Allah tetap ada percepatan bagi yang kepengen segera keluar dari keterpurukannya.

Shingga kemudian banyak orang bisa dikeluarkan dari kegelapan menuju Cahya-Nya. Insya Allah, Allah akan menolong hamba-hambaNya yang ikhlas menerima segala Ketentuan-Nya. dan insya Allah pula saya do`akan, dan kiranya demikian pulalah kita semua.
Doakan sahabat-sahabat yang lain agar beroleh ampunan-Nya, dan diberi-Nya selalu kesempatan ke-2, ke-3, ke-4, dan seterusnya.

Dan sebagai salam akhir, rasanya yang penting buat kita bukan lagi apakah hutang kita bisa selesai... apakah penyakit bisa sembuh, hajat kita bisa kecapai, masalah kita bisa selesai... Namun, yang lebih penting adalah apakah kita bisa diampuni Allah? Apakah kita bisa meninggal dalam keadaan husnul khaatimah? Apakah kita bisa menyelamatkan anak keturunan dan keluarga kita agar tidak seperti kita? Apakah kita bisa menasihati diri kita dengan pengalaman bertuhannya kita? Apakah kita bisa memberi nasihat orang-orang yang belum terjebak dosa seperti kita? Apakah kita bisa mengajak serta pendosa-pendosa serupa dengan kita untuk sama-sama bertaubat? Apakah kita mau mendekatkan diri dengan Allah? Apakah kita mau menghiasi hidup dengan amal saleh, mencoba sabar dan tidak mengeluh sedikitpun? Setelah itu, kita terima segala kesusahan sebagai bentuk Kasih Sayang-Nya Allah yang bisa menghabisi semua dosa kita dan keluarga kita di sisa umur kita. Sesungguhnya, tidak ada satupun mukmin dan mukminah yang tertimpa bala dan musibah, melainkan akan keluar jasadnya dalam keadaan bersih, Allah naikkan derajatnya, Allah ampunkan dosanya, dan Allah berikan kebaikan sebagai balasan keridhaannya menerima takdir-Nya.

Doa saya untuk semuanya. Segitu ngerinya hukuman di balik dosa-dosa kita, besarkan hati dengan Ampunan-Nya. Kalau manusia datang ke Allah dengan dosa sebesar gunung, maka Allah akan memberikan ampunan sebesar gunung juga. Jika datang dengan dosa seluas daratan, sedalam lautan, sebanyak butiran pasir di padang pasir, maka Allah pun akan memberikan ampunan sebesar itu pula. Bahkan masih bertambah-tambah lebih banyak lagi dengan Kasih Sayang-Nya. Mari semangat tuk benar-benar berubah dan memperbaiki diri dan ibadah kita.
www.wisatahati.com.

Rabu, 23 September 2009

مِنَ الْعاَ ئِدِيْنِ وَ الْفاَئِزِيْن

MINAL AIDIN WAL FAIZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H




Rabu, 16 September 2009

Hukum Shalat Id di Masjid dan Lapangan Cetak E-mail
Diposting oleh Redaksi
Monday, 29 September 2008
Hukum shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah muakkadah(sangat dianjurkan tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah, Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.

Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid.”

“Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.”

Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.

Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )

Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini.

Namun demikian, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Imam As-Syafi'i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.

أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ

”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utama”

Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)

Sebenarnya, melaksanakan shalat Id hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jema’ah. Akan tetapi menyelenggarakan shalat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jema’ah.

Sekali lagi, fokus utama dalam hukum shalat Id ini adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan.

Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.


HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU


Rabu, 09 September 2009

Di dalam kita melakukan ibadah puasa harus dengan adab diantaranya, ketika kita berpuasa hendaklah jangan terlalu menyibukkan diri dengan dunia khususnya puasa Ramadhan bahkan kalau bisa kita kosongkan waktu khusus untuk ibadah kepada Allah Swt, dengan banyak-banyak menggingat kepadanya sebanyak yang kita mampu. Jangan kita menyibukkan diri dengan dunia kecuali yang harus kita lakukan karena tidak bisa ditinggalkan separti mencari nafkah buat keluarga. Bulan Ramadhan ini bulan yang sangat mulia diantara bulan-bulan yang lain.

Dan selain adab juga banyak sekali sunah-sunnah yang sebaiknya kita kerjakan dibulan ramadhan untuk menambah fadilah puasa kita, Salah satunya bersegerahlah untuk berbuka puasa kalau memang kita yaqin sudah masuk waktu magrib begitupun disunnah kan untuk mentakhirkan waktu sahur nya, dan usahakanlah berbuka dengan kurma itu sunnah Nabi Muhammad Saw, bahwasanya Nabi Muhammad Saw berbuka dengan kurma sebelum beliau melakukan ibadah sholat magrib.

Dan dianjurkan bagi semua ummat agar mereka dibulan yang mulia ini mengurangi makannya tujuanya agar mereka benar-benar merasakan lapar dan dahaga karena itu bisa mendidik jiwa manusia dan bisa menerangi hati.
Sebaliknya apa bila mereka banyak makan dibulan yang mulia ini maka mereka akan merasa berat dan malas untuk melakukan ibadah kepada Allah.

Jagalah mata, telinga, lisan kita dibulan yang mulia ini jangan rusak pahala puasa kita dengan melakukan sesuatu yang tidak di ridoi Allah Swt.

Perbanyaklah berbuat baik dibulan yang mulia ini bersedekah, saling membantu khususnya memberikan makan untuk orang berbuka puasa itu sangat besar sekali pahalanya,

Nabi Muhammad Saw berkata : siapa orang yang bersedekah untuk orang berbuka puasa walau cuma satu kurma atau satu teguk air maka Allah Swt akan memberikan pahala puasa yang kita berikan sedekah kepada nya tanpa di kurangi sedikit pun oleh Allah Ta’la.

Dan jangan tinggalkan sholat tarawih ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw untuk mensyiarkan dan menghidupkan malam-malam Ramadhan juga fadilah dan pahalanya sangat besar sekali
Juga perbanyaklah membaca Alquran dibulan yang mulia ini, karena semua amalan dibulan suci ramadhan dilipatgandakan pahalanya, banyak sekali rahmat Allah Swt dibulan ramadhan, kita sebagai hamba Allah Swt dan sebagai ummat Nabi Muhammad Saw harus bersyukur karena kita masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk menikmati indahnya fadilah dan keutamaan yang tiada terhingga dari Allah Swt dibulan yang suci ini, oleh karena itu kita tidak boleh lalai dan malas untuk beribadah dan selalu dengan ikhlas menghadirkan hati kita disetiap ibadah yang kita lakukan tidaklain semua itu hanya mengaharap ampunan dan ridonya Allah Swt.

Ya Allah berkahi kami dibulan yang indah yang penuh dengan rahmat dan maghfiroh darimu Ya Robbii.



Jumat, 14 Agustus 2009

Khutbah Nabi Muhammad SAW menyambut Ramadhan
Jumat, 14 Agustus 2009

عَنْ سَلْمَانَ ، قَالَ : خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ ، فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ ، قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً ، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُي الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ قَالُوا : لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ فَقَالَ : يُعْطِي اللَّهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ ، أَوْ مَذْقَةِ لَبَنٍ ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ ، وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ : خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ ، وَخَصْلَتَيْنِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا ، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ : فَشَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهَا : فَتُسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيهِ صَائِمًا ، سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ حَوْضِي شَرْبَةً لا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ

Dari Salman Al Farisi r.a berkata: Rasûlullâh saw berkhutbah di Akhir bulan Sya'ban : "Wahai manusia! sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allâh swt telah menjadikan puasanya suatu fardu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu’(sunnah).”


“Barangsiapa mendekatkan diri kepada
Allâh dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, maka sama dengan (pahala) orang yang menunaikan suatu fardu di dalam bulan yang lain.”

Ramadan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadan itu adalah bulan memberi pertolongan (syahrul muwasah) dan bulan Allâh swt memberikan rizqi kepada mukmin di dalamnya.”


“Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang.”


Para sahabat berkata, “Ya
Rasûlullâh, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasûlullâh saw , “Allâh swt memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau seteguk susu.”


Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya
Allâh mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka.”


“Oleh karena itu perbanyakkanlah yang empat perkara di bulan
Ramadan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya.”

“Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain
Allâh swt dan mohon ampun kepada-Nya . Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka.”

“Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya
Allâh swt memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga.” (HR. Ibnu Khuzaimah).

Dalam hadits lain :

وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ

قلت ويأتي حديث في فضل لصوم في صوم التطوع (بغية الحارث , شعب الإيمان للبيهقي)

Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah-pen) niscaya Allâh mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka.”

(Bughyah Al Kharits, As Syu'ab al Iman lil Baihaqi)

Selasa, 10 Februari 2009

Surat Imam Al-Ghazali Kepada Muridnya

Ilmu adalah cahaya. Demikian kata imam syafi’I dalam syairnya. Karena ilmu begitu penting, Rasulullah saw memerintahkan, “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahad.” Namun, ilmu saja tidak cukup.

Ilmu harus dimanfaatkan, dengan mengajarkan dan –yang terpenting- mengamalkannya. Imam Al-Ghazali, penulis kitab Ihya Ulumuddin, pernah mengirim surat kepada salah seorang muridnya. Melalui surat itu, Al-Ghazali ingin menyampaikan tentang pentingnya memadukan antara ilmu dan amal. Berikut petikannya.

***
Anakku…

Nasihat itu mudah. Yang sulit adalah menerimanya. Karena, ia keluar dari mulut yang tidak biasa merasakan pahitnya nasihat. Sesunggunya siapa yang menerima ilmu tetapi tidak mengamalkannya, maka pertanggungjawabannya akan lebih besar. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Orang yang paling berat azabnya pada hari kiamat kelak adalah orang berilmu (‘alim; ulama) yang tidak memanfaatkan ilmunya.”
Anakku…

Janganlah engkau termasuk orang yang bangkrut dalam beramal, dan kosong dari ketaatan yang sungguh-sungguh. Yakinlah, ilmu semata tak akan bermanfaat-tanpa mengamalkannya. Sebagaimana halnya orang yang memiliki sepuluh pedang Hindi; saat ia berada di padang pasir tiba-tiba seekor macan besar nan menakutkan menyerangnya, apakah pedang-pedang tersebut dapat membelanya dari serangan macan jika ia tidak menggunakannya?! Begitulah perumpamaan ilmu dan amal. Ilmu tak ada guna tanpa amal.
Anakku…

Sekalipun engkau belajar selama 100 tahun dan mengumpulkan 1000 kitab, kamu tidak akan mendapatkan rahmat Allah tanpa beramal.

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm [53]: 39)

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Anakku…

Selama tidak beramal, engkau pun tidak akan mendapatkan pahala. Ali Karramallahu wajhahu berkata, “Siapa yang mengira dirinya akan sampai pada tujuan tanpa sungguh-sungguh, ia hanyalah berangan-angan. Angan-angan adalah barang dagangan milik orang-orang bodoh.
Al-Hasan Al-Basri rahimahullah berkata, “Meminta surga tanpa berbuat amal termasuk perbuatan dosa.”

Dalam sebuah khabar, Allah SWT berfirman, “Sungguh tak punya malu orang yang meminta surga tanpa berbuat amal.”

Rasulullah saw bersabda, “Orang cerdas ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya dan berbuat untuk setelah kematian. Dan orang bodoh ialah siapa yang memperturut hawa nafsunya dan selalu berangan-angan akan mendapatkan ampunan Allah.”
Anakku…

Hiduplah semaumu, karena pada hakikatnya engkau itu mayit. Cintailah sesukamu, karena pasti engkau akan meninggalkannya. Dan, lakukanlah amal karena pasti engkau akan diberi balasan.
Ilmu tanpa amal adalah gila. “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah [02]: 44).

Dan, amal tanpa ilmu adalah sia-sia. Keduanya harus dipadukan satu sama lain.
Ilmu semata tak akan menghindarkanmu dari maksiat hari ini, dan tidak pula dapat menyelamatkanmu dari siksa neraka di hari esok. Jika hari ini kamu tidak sungguh-sungguh beramal, maka pada hari kiamat kelak engkau akan berkata, “Kembalikanlah kami (ke dunia) agar dapat melakukan amal salih.” Namun, dijawab, “Hei kamu, bukankah kamu telah dari sana?!”
***

“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kepada kita ilmu yang berkah dan kemampuan untuk merealisasikan ilmu-ilmu yang telah Dia anugerahkan kepada kita. Amin…. (M. Yusuf Shandy- - -Lihat kitab Ma'allah karya Muhammad Al-Ghazali)